“Sudah.” kata Kyai.

“Saya mau… mau…” sahut Iqbal gugup.

“Iya sudah saya isi, mau ilmu kebal senjata kan?”

Iqbal manggut.

Aku yang waktu itu membereskan gelas minuman, juga ikut heran, apalagi Iqbal. Karena memang Kyai   belum   menyentuh   Iqbal   sama   sekali. Melihat  Iqbal   ragu,   Kyai   segera  memanggil Kunto,   santri   dari   Sumatra   yang   tubuhnya gempal.

Setelah kunto menghadap, “Kunto, ambil golok!, kau tes si Iqbal ini.” kata Kyai tenang.

Iqbal pucat, kulihat keringat dingin membasahi jidatnya, tubuhnya gemetar, aku tak berani membayangkan apa  yang dipikirkan Iqbal, mungkin dia menyesali telah datang ke sini, atau mungkin  membayangkan  kulitnya  sobek  sampai ke tulangnya kelihatan memutih lalu darah mengucur dari lukanya, lalu tubuhnya ambruk mati.

Kunto   telah   datang   membawa  golok,  semua santri memiliki golok, senjata khas yang dipakai santri untuk mengambil kayu bakar di gunung putri. Di pondok ini para santri makannya ditanggung Kyai, kalau Kyai ngasih beras, maka nasi yang dimakan, tapi bila adanya ubi maka ubi yang  dimakan,  bahkan  tak  jarang berhari-hari kami  makan  daun  singkong  yang  direbus  saja, tapi alat perebus yaitu kayu bakar, kami harus mencari di hutan.

Kedatangan  Kunto  dengan  goloknya  yang berkilat-kilat membuat Iqbal makin gemetaran, tamu-tamu  yang  lain  telah  minggir,  sebelum Kunto datang mungkin takut kecipratan darah,

apalagi tamu-tamu wanita makin jauh, tinggal Iqbal yang duduk sendirian di depan Kyai, keringatnya membanjir, apalagi Kunto datang tanpa kata-kata lagi meloncat menebaskan goloknya berkelebat ke arah leher Iqbal yang duduk menunduk di depan Kyai, para tamu perempuan menjerit.

Kontan Iqbal menoleh. Bias, wajahnya seputih kapas, golok Kunto mendesing ke arah lehernya. Memejamkan mata saja Iqbal tak sempat apalagi menghindar,   nyawanya   rasanya   sudah   lepas ketika suara ngek!, terdengar di lehernya, tapi segera aliran darah merah mengaliri seluruh permukaan kulitnya yang memutih, menyegarkan kembali  urat-uratnya,  dan  kelegaan menggantikan keterkejutan, ketika mendapati kepalanya tidak menggelundung lepas.

Bahkan  ia  tak  merasakan  sakit  sama  sekali ketika ketajaman golok menyentuh kulitnya, seperti bantal kapuk yang empuk saja. Semua mata yang menatap lega, dan suasana segera dicairkan dengan ketawa Kyai, yang menyuruh Iqbal melanjutkan ujicoba kekebalannya di luar, karena Kyai mau menerima tamu yang lain.

“Oh  engkau  rupanya  nyai  Bundo.”  kata  Kyai,

diiringi senyum.

“Maaf nyai aku tak bisa menyambutmu yang mendadak ini,”

“Ah banyak bacot amat!” bentak nyai Bundo. “Terima serangan ku!”

Seketika perempuan tua itu mengangkat tangan kanannya setinggi pundak, sedang tangan kirinya diarahkan ke pusar. Dengan hitungan detik tapak tangannya menyala, dari menyala merah biru kemudian putih keperakan. Terdengar olehku suara  Kyai  mendesis,  “Pukulan  saripati bagaspati.” Tangan Kyai mendorong lututku sehingga tubuhku meluncur seperti beroda dan mentok di tembok. Kulihat tangan nyai Bundo dipukulkan ke depan. Terdengar suara bersiutan seperti  suara  mobil  yang  jalan  kencang  lalu direm mendadak.

Ketika cahaya itu lepas dan menghantam dada Kyai,  semua  orang  di  situ  matanya  melotot, udara terasa panas, rasanya seperti dalam oven. Cahaya yang menghantam Kyai begitu mengenai dadanya, cahaya itu langsung amblas. Kyai tetap

duduk tersungging senyumnya. Seperti tak terjadi apa-apa, bahkan pakaian putih yang dikenakan samasekali tak berkibar. Jelas hal itu membuat  nyai  Bundo  makim  marah,  dan mengulang pukulannya sampai berulang kali, tapi hasilnya sama, Kyai tetap duduk tak bergeming.

“Bedebah cilik, sihir apa yang kau pakai?” nyai Bundo seperti tak percaya, ilmu yang selama ini dibanggakannya seperti tak punya kekuatan apa- apa. Padahal biasanya yang terkena pukulan yang telah dilambari aji saripatibagaspati, jangankan manusia, kerbaupun akan hangus terbakar luar dalam,  tinggal  mengasih  bumbu  sudah  matang tak perlu dimasak lagi. Tapi ini orangnya masih hahak hihik, jelas membuat nyai Bundo panas hatinya kicat-kicat.

“Sareh nyai, ayo duduk sini.” kata Kyai masih terus ketawa. Walau masih mbesengut nenek itupun akhirnya duduk di depan Kyai, lalu Kyai mengangkat  tapak  tangan  kirinya  seraya berkata,

“Nyai, nanti apa yang keluar dari tapak kiriku,

dan engkau bisa mengambilnya maka itu menjadi

hak mu.” nyai Bundo penasaran matanya menatap

ke tapak tangan Kyai yang terpentang.

Nyai Bundo memandang tak berkedip kearah tapak tangan Kyai yang perlahan tapi pasti mulai memerah dan semakin merah bercahaya, ketika dari dalam telapak tangan itu keluar batu mirah delima, batu itu terlihat merah menyala-nyala, sampai lengan baju putih Kyai ikut menyala. Segera tangan kiri nyai Bundo meraih punggung tapak tangan Kyai, sementara tangan kanannya mencoba mengambil mirah delima yang menyala- nyala itu, tapi alangkah terkejutnya karena batu itu seperti lengket di telapak tangan Kyai.

Lebih lengket daripada lengketnya perekat raja lem sekalipun. Nyai Bundo mencoba mengambil dengan  segala  daya  kekuatannya.  Sementara Kyai terkekeh-kekeh, keringat nyai Bundo membanjir, dan asap putih tipis mengepul dari rambutnya menunjukkan bahwa nyai itu telah menggunakan kekuatan tenaga dalamnya. Malah batu sakti itu tak bergeser sedikitpun, dan lagi ketika batu itu masuk lagi kedalam telapak Kyai tangan nyai Bundo ikut terbetot masuk kedalam.

Sontak nyai Bundo membetot tangannya, setelah batu itu lenyap.

“Itu mungkin bukan rizkimu nyai, mungkin yang ini rizki mu,” lagi-lagi dari dalam tapak tangan Kyai yang terbentang, perlahan muncul gagang keris berukir burung garuda, keris itu perlahan keluar dari tangan Kyai yang sama sekali tak berlubang apalagi berdarah. Separuh keris itu masih menancap di tapak tangan Kyai, nyai Bundo pun lekas memegang gagang keris dan mengerahkan semua tenaga dalamnya di salurkan ke tangannya yang menggenggam keris. Dengan mudahnya keris itu dicabut. Sreet, seperti mencabut rambut dari adonan roti.

Ketika keris telah tercabut betapa nyai Bundo matanya melotot terkejut, dia benar-benar mengenali keris yang sekarang ada di genggamannya.

Segera ia bersujud mohon ampun dan menyembah-nyembah ke Kyai, Kyai cuma terkekeh-kekeh sambil membelai rambut putih perempuan tua yang sedang bersujud. Lalu Kyai menyuruh nyai Bundo duduk dengan tenang. Dan Kyai  mengajakku  dan  yang  ada  di  situ  sholat

berjamaah karena memang waktu magrib tinggal sedikit.   Setelah   sholat   selesai   dan   dzikir setelah sholat, Kyai segera menemui nyai Bundo yang masih duduk sambil tangannya masih memegang keris dan tak ikut menjalankan sholat karena memang nyai Bundo bukan orang Islam. Ketika Kyai duduk di depannya, nyai itu segera meraih tangan Kyai menyalaminya, membungkuk dan meletakkan tangan Kyai di jidatnya.

“Maafkan aku guru, yang bodoh ini, tak tau tingginya gunung di depan mata, bimbinglah aku guru…” suara nyai Bundo mengiba, tak seperti pada saat kedatangannya, yang menantang- nantang.

“Nyai dari mana engkau tau akan diriku.” tanya

Kyai lalu nyai Bundo menceritakan.

Nyai Bundo adalah orang Kalimantan pedalaman, dia murid seorang sakti bernama Wong Agung Sahlunto, ketika gurunya itu moksa di depannya. Sebelum moksa gurunya itu berpesan, sambil mengacungkan keris yang sekarang ini ada di genggamannya.

Lalu katanya, “Muridku kalau kau nanti menemukan orang yang memegang keris ini, maka tunduklah padanya ikuti ajarannya dan masuk agamanya.” setelah berkata seperti itu Wong Agung itu sirna beserta kerisnya. Bertahun- tahun berlalu namun nyai Bundo tak menemukan keris yang dipegang gurunya di tangan orang lain. Dia mencari ke segala penjuru, namun tetap tak menemukan,  dalam  pencariannya  itu  nyai bertemu dua orang pertapa sakti dari orang Dayak, namanya Luh Bajul dan Luh Landak.

Dan  mereka  bertiga  mengikat  persaudaraan, pada waktu terjadi kerusuhan sampit Luh Bajul dan Luh Landak mengamuk, membunuhi orang Madura.  Sepak  terjang  dua  orang  sakti  ini begitu menakutkan, tak jarang seorang bayi yang digendong ibunya, tanpa ketahuan sang ibu, telah kehilangan kepalanya.

Sungguh gerakan dua orang ini tak diketahui, sehingga banyak korban binasa di tangan dingin mereka.  Di  suatu  senja,  Luh  Bajul  dan  Luh Landak tengah mengaso di tepi hutan. Setelah selesai menumpas habis dua keluarga, mereka berdua  tengah  duduk-duduk  santai  di  bawah

pohon randu alas. Tiba-tiba ada suara keras dan berat memanggil nama mereka berdua, mereka segera mendongak ke atas karena suara itu dari atas dan mereka terkejut sekali melihat perwujudan  besar  tinggi  hitam  legam,  lebih tinggi dari pohon randu alas, matanya merah menyala seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu.

Serempak mereka berdua bersujud menyembah, karena mereka tau itulah Jadsaka, jin yang mereka sembah, yang memberikan berbagai ilmu sihir dan ilmu kesaktian. Kata jin itu dengan suaranya yang membuat bumi yang dipijak kedua orang itu bergetar “Jebleng..! Jebleng..!, celaka, celaka, Sang raja akan datang kesini, kalian sambutlah dia, dan ikuti apa yang dikatakannya, sebelum dia marah dan menghancurkan bangsaku maka aku akan membinasakan kalian berdua.”

Setelah menemui sang raja itu kedua pertapa dayak itu menceritakan pada nyai Bundo, perempuan itu  yang tak  ada hubungan dengan Jadsaka tanpa takut. Dengan petunjuk dari Luh Bajul  dan  Luh  Landak  segera  mencari keberadaan sang raja.

Aku jadi ingat pada satu malam setelah wirid malam aku tertidur pulas dalam tidur aku bermimpi Kyai mengajakku, “Mas Ian ayo temani aku jalan-jalan.″ begitu kata Kyai, lalu Kyai menggandengku. Tubuhku terasa ringan seperti kapas, melayang cepat laksana kilat, melintasi pohon melewati gunung, melayang seperti superman  dalam  film,  melintasi  laut  menuju pulau, perjalanan begitu cepat. Lalu tubuh kami melayang sebatas pinggang, nampak olehku dua orang duduk bersimpuh, menyembah-nyembah.

“Ampun raja apa yang paduka inginkan?”

“Aku hanya ingin kalian hentikan membunuh orang.” kata Kyai masih memegang pergelangan tanganku.

“Baik paduka… kalau boleh tau siapa gerangan paduka?”

“Aku Kyai Lentik penguasa gunung Putri.” setelah berkata itu maka Kyai pun segera menarik tanganku kembali, melesat cepat, dan aku terbangun, hari sudah pagi, kejadian malam itu aku menganggapnya hanya mimpi saja, ternyata kini  aku  tau  bahwa  itu  nyata,  apalagi  setelah

menguasai ilmu raga sukma melepas sukma itu adalah hal yang biasa saja, terbang kemana saja sekehendak kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *